Breaking News

Pengorbanan Pilkada, Gugur Karena Corona

Spread the love

Oleh: Hana Rahmawati

(Aktivis Literasi Tangerang)

MuslimahTimes.com – Indonesia kembali menggelar perhelatan demokrasi dalam pemilihan serentak kepala daerah tahun 2020. Pilkada ini akan diselenggarakan dalam masa pandemi covid-19. Namun, ada yang menyedihkan menjelang pilkada tahun ini, diberitakan 70 orang calon kepala daerah terpapar covid-19 dan 4 diantaranya meninggal dunia. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelfa, dalam laman akun media sosialnya di twitter, Jum’at 27 November 2020.

Selain calon kepala daerah yang terpapar covid, Hamdan juga menyoroti dan menyampaikan keprihatinannya terkait ditemukannya cluster baru pada petugas penyelenggara pemilu. Ada sekitar 100 orang anggota penyelenggara pemilu yang juga terinfeksi virus ini termasuk ketua KPU RI.

“Betapa besar pengorbanan untuk demokrasi.” Ujar Hamdan. Untuk itu ia menghimbau agar protokol kesehatan dapat di jalankan dengan baik terutama dalam pelaksanaan pilkada 2020 sehingga kasus penularan covid-19 dapat ditekan. (kabarbisnis.com, 28/11/2020)

Sebelumnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) provinsi kepulauan Riau (kepri) menunda debat pasangan calon (paslon) pilkada kepri 2020. Hal ini di karenakan 3 anggota KPU setempat terkonfirmasi positiv covid-19. (detiknews.com, 5 November 2020)

Tidak hanya kali ini saja wajah demokrasi kita terlihat memprihatinkan. Pada pemilu tahun lalu, insiden petugas bertumbangan pasca perhelatan besar dalam demokrasi pernah terjadi. Saat itu ada sekitar 894 petugas pemilu meninggal dunia dan sebanyak 5.175 petugas mengalami sakit. Aspek kesehatan jelas menjadi faktor pemicu hal tersebut terjadi. Tentunya kita tidak ingin hal itu terulang kembali mengingat kondisi bangsa kita yang saat ini berada ditengah merebaknya virus covid-19.

Semahal itukah harga sebuah demokrasi sehingga harus dibayar oleh banyak nyawa melayang? Pengorbananan yang amat sangat disayangkan untuk sebuah sistem yang menawarkan kesejahteraan namun berkali-kali rakyat lemah tetap diabaikan. Belum lagi jika sejumlah pihak yang terlibat dalam demokrasi tersebut berlaku curang, alhasil pemimpin yang terpilih tidak mustahil mengabaikan amanah yang diemban untuk mengurus rakyatnya.

Pada faktanya, demokrasi kita hari ini pun hanya sering menghasilkan sebuah ilusi. Ilusi kesejahteraan, kemakmuran, kesetaraan dan keadilan. Sebab semua itu justru dirasakan oleh segelintir orang yakni para elite penguasa, wakil rakyat, partai atau pemilik modal. Tidak sebanding dengan pengorbanan nyawa yang diberikan untuk demokrasi hari ini, jika ternyata output yang dihasilkan jauh dari harapan.

Lahir dari Proses yang Salah, Tak Mustahil Abai Amanah

Perebutan kursi kekuasaan baik sebagai orang nomor 1 maupun kursi jabatan setingkat gubernur adalah hal yang lumrah dijumpai dalam sistem perpolitikan demokrasi. Sikut sana-sini, lompat kanan-kiri, atau bahkan ‘menikam’ lawan politik sudah menjadi pemandangan biasa setiap pemilu ataupun pilkada. Pemilu ataupun pilkada memang bukanlah sekadar pemilihan pemimpin semata. Lebih dari itu, banyak terdapat kepentingan berbagai pihak terutama para pemilik modal.

Sudah lumrah diketahui bahwa demokrasi pastilah memerlukan biaya tinggi. Hampir semua penguasa dari daerah ke pusat membutuhkan dukungan finasial dari pemilik modal. Karena calon penguasa tidak mungkin merogoh koceknya sendiri. Dari sinilah tercipta simbiosis mutualisme antara politikus dan konglomerat. Itulah mengapa para pengusaha ikut andil dalam setiap keputusan yang ditetapkan oleh penguasa.

Untuk itu, para calon penguasa akan berusaha semaksimal mungkin pada masa kampanye guna mendulang suara rakyat. Begitu juga dengan partai pengusungnya serta para simpatisannya. Pada masa pandemi seperti ini, tak ayal kegiatan para pasangan calon terkesan abai dalam menerapkan protokol kesehatan, kerumunan massa otomatis tercipta dalam kegiatan kampanye, akhirnya hal tersebut akan menimbulkan cluster baru penyebaran covid-19. Alhasil, kasus terkonfirmasi positiv covid pun bertambah.

Pilkada yang diadakan saat pandemi belum berakhir ini tidaklah tepat. Sebab, kerumunan yang tercipta menihilkan penerapan prokes secara ketat. Seharusnya pemerintah mempertimbangkan perhelatan demokrasi ini. Sebab, kesehatan rakyat sangatlah penting dan harus diperhatikan, bukan diabaikan demi kursi kekuasaan.

Pemilihan kepala negara merupakan produk dari sistem demokrasi. Dengan semboyan ‘dari rakyat, untuk rakyat, oleh rakyat’. Namun pada faktanya, demokrasi yang berjalan malah lebih didominasi oleh pengusaha. Berbagai kebijakan merupakan titipan para konglomerat. Adalah hal yang wajar jika biaya kampanye paslon saja mendapat suntikan dana dari para pengusaha, maka mau tidak mau aturan yang berlaku juga harus berpihak pada pengusaha sebagai ‘balas jasa’. Atau para penguasa menghalalkan tindak korupsi demi mengembalikan pinjaman dana yang telah mereka gunakan selama masa kampanye berlangsung.

Pilkada yang diadakan pada masa pandemi ini dengan ancaman nyawa, semakin menguatkan sebuah pernyataan yang menyatakan bahwa demokrasi-liberal kapitalis ini ibarat orang sakit yang masih memiliki kemampuan untuk menyakiti hak-hak rakyat. Disadari atau tidak, masyarakat kini telah banyak merasakan kekecewaan terhadap sistem hari ini yang menghasilkan penguasa yang memiliki wacana politik dangkal dan mencerminkan pemikiran dangkal. Mencari jalan menghentikan tindak kedzaliman melalui demokrasi lagi sama saja dengan mencari penyembuhan melalui penyakit itu sendiri.

Islam Memimpin, Kesejahteraan Terjamin

Sejarah pernah mencatat peradaban Islam pernah berjaya sekitar 13 abad lamanya. Menguasai dua pertiga dunia dengan penerapan Islam secara kaffah. Kepemimpinan Islam diatur oleh syariat, jauh dari belenggu asing dan kapitalis. Bagi seorang khalifah, memimpin umat adalah sebuah amanah. Di dalam Islam, kedaulatan sepenuhnya berada pada syariat, bertumpu pada hukum Allah bukan rakyat. Sehingga syariatlah yang harus diterapkan oleh umat. Maka manusia berperan sebagai pelaksana hukum-hukum Islam bukan pembuat hukum.

Di dalam sistem kapitalis, standar benar dan salah, baik dan buruk bukanlah menurut syariat Islam, tetapi menurut akal manusia. Karena itu aturan dalam sistem demokrasi-kapitalis membuka peluang besar bagi perkara yang menurut Islam diharamkan. Contohnya riba, khamr, perzinahan maupun perkara yang dilegalkan dalam demokrasi padahal Islam jelas mengharamkannya. Belum lagi janji-janji palsu yang sering diucapkan saat menjaring suara umat. Nyatanya itu semua hanya sekadar ilusi. Kesejahteraan, keadilan dan kesetaraan tidak lain hanyalah dirasakan oleh pihak-pihak tertentu yang berpihak pada sistem kapitalisme.

Islam menawarkan sebuah konsep kepemimpinan yang jelas arah dan tujuannya, mensejahterakan umat berdasarkan aturan syariat. Kepemimpinan dalam pandangan Islam merupakan amanah yang harus dijaga dan ditunaikan sebagaimana mestinya. Ketika amanah ini diminta oleh Abu Dzar al-Ghifari dari Nabi Saw dengan tegas beliau menyatakan kepada Abu Dzar, “Sesungguhnya kepemimpinan itu adalah amanah, kehinaan dan penyesalan pada hari kiamat. Kecuali orang yang mengambilnya dengan sesungguhnya, dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya dengan baik.

Dalam Islam juga kekuasaan bersifat tunggal di tangan seorang Khalifah. Maka, Khalifah berhak mengangkat dan memberhentikan wali (kepala daerah) berdasarkan aturan syariah bukan faktor kedaerahan atau nasionalisme. Karena itu di dalam daulah khilafah tidak dikenal istilah pilkada. Para pemimpin di pilih berdasarkan ketaatannya kepada Allah dan atas baiat masyarakat kepadanya. Maka, tidak ada biaya besar yang diambil dari kas negara ataupun pajak rakyat untuk membiayai pesta pemilihan kepala daerah secara besar-besaran.

Umat Islam dan seluruh dunia tentunya saat ini butuh sosok pemimpin yang amanah, inovatif dan kredibel. Namun itu semua belum cukup jika sistem yang digunakan untuk memimpin rakyat bukanlah sistem yang baik. Sistem yang baik ini haruslah datang dari Dzat yang Maha Baik, yaitu Allah SWT. Itulah sistem syariah yang digunakan untuk mengatur seluruh aspek kehidupan. Baik dalam aspek pemerintahan, sosial, ekonomi hingga politik dalam dan luar negeri, semuanya haruslah bersumber dari syariah. Karena hanya dengan itulah kehidupan kita akan dipenuhi keberkahan dari langit dan bumi. []

Wallahu A’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published.