Breaking News

Peraturan PPKS Bukan Solusi Atasi Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan

Spread the love

Oleh : Vani Nurlita Santi

 

Kementrian Agama (Kemenag) telah menerbitkan Peraturan Menteri Agama (PMA) tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan (PPKS) No. 73 tahun 2022 pada, Rabu (5/10/2022). PMA ini terdari dari tujuh Bab, yaitu: ketentuan umum; bentuk kekerasan seksual; pencegahan; penanganan; pelaporan, pemantauan dan evaluasi; sanksi; dan ketentuan penutup. Dengan total 20 pasal. Juru bicara kementrian agama Anna Hasbie pada, Kamis (13/10/2022) mengatakan PMA ini mengatur bentuk kekerasan seksual mencangkup perbuatan yang dilakukan secara verbal, nonfisik, dan/atau melalui teknologi informasi dan komunikasi. Setidaknya dalam PMA tersebut ada 16 klasifikasi bentuk kekerasan seksual, seperti deskriminasi atau pelecehan tampilan fisik, kondisi tubuh dan/atau indentitas gender korban.

PMA ini dibuat untuk mengatur tindak kekerasan seksual pada satuan Pendidikan, yang mencangkup Pendidikan formal, nonformal dan informal. Juga meliputi madrasah, pesantren dan satuan pendidikan keagamaan. Terus terulangnya kasus pelecehan seksual di satuan pendidikan memang semakin mengkhawatirkan. Sepanjang 2021 saja Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan, ada sebanyak 207 anak yang menjadi korban pelecehan dan kekerasan seksual di satuan Pendidikan. “Total jumlah anak korban adalah 207 orang, dengan rincian 126 anak perempuan dan 71 anak laki-laki” ungkap Komisioner KPAI Retno Listyarti pada, Rabu (5/1/2022). Ibarat gunung es, dapat dipastikan jika data ini hanyalah sebagian dari kasus pelecehan seksual yang terjadi di satuan Pendidikan yang terungkap, karena tidak semua korban dari kasus pelecehan seksual berani melapor bahkan membawa kasusnya ke jalur hukum.

Terulangnya kasus pelecehan seksual di satuan pendidikan ini merupakan salah satu dampak dari diterapkannya sistem sekuler-kapitalis. Sistem sekuler-kapitalis ini memisahkan antara kehidupan dengan agama. Sistem rusak buatan barat ini membatasi peranan agama dalam kehidupan dan menjadikannya sebatas rutinitas ritual semata. Sistem ini sukses menggadaikan keimanan seseorang dan menjadi wadah untuk berkembangnya segala jenis kerusakan. Pelecehan seksual, pornografi, kriminalitas, seks bebas, LGBT, aborsi, menjadi hal yang sangat wajar. Sehingga akan menjadi sangat mustahil jika ingin memberantas kasus pelecehan seksual namun masih menggunakan sistem sekuler-kapitalis ini.

Sistem informasi dan media yang tumbuh di atas sistem sekuler-kapitalis ini memiliki aturan sangat longgar terhadap pornografi, sehingga akan semakin memperparah kondisi kerusakan. Pergaulan masyarakat dengan mindset sekuler-kapitalis yang melahirkan kebebasan menjadikan interaksi-interaksi antara pria dan wanita didominasi naluri seksual semata yang sangat mampu memicu kekerasan. Selain itu, sistem hukum pidana yang tidak memberikan efek jera kepada pelaku membuat kasus pelecehan ini kerap kali terulang kembali. Inilah akar permasalahan dari pelecehan seksual yang sering terjadi dalam satuan pendidikan karena penerapan sistem sekuler-kapitalis.

Sehingga jika solusi yang ditawarkan hanya sebuah produk hukum tanpa menyentuh akar masalah, solusi tersebut hanya sebatas hitam diatas putih semata, sementara permasalahan serupa akan terus muncul dan terulang kembali. Untuk mengatasi masalah pelecehan seksual di satuan Pendidikan ini diperlukan solusi yang konkrit agar permasalahan seperti ini tidak terulang kembali. Solusi konkrit tersebut hanya bisa diperoleh jika negara ini menerapkan sistem hukum yang berlandaskan syariat islam.

Sistem hukum yang berlandaskan syariat islam akan mengatur interaksi antara lelaki dan perempuan. Interaksi lelaki dan perempuan dalam sistem hukum islam hanya akan berlaku jika berada di ranah-ranah tertentu, seperti dalam pendidikan, jual beli dan kesehatan. Adanya Batasan interaksi ini harus dipahami oleh setiap individu muslim maupun warga kafir dzimmi. Kepatuhan setiap individu muslim dan warga kafir dzimmi kepada pemerintah akan menutup celah interaksi-interaksi diluar batas. Selain itu, diberikannya pemahaman tentang tata cara menutup aurat yang benar bagi Muslimah dan cara berpakaian yang baik kepada kafir dzimmi akan menutup akses aktivitas mengumbar aurat atau sensualitas di tempat umum yang bisa membangkitkan gharizah nau’.

Karena apabila gharizah nau’ seseorang bangkit akibat rangsangan dari luar dan tidak memiliki tempat penyaluran yang benar hal ini akan memicu terjadinya kejahatan seksual. Selanjutnya, kewajiban melakukan amar ma’ruf nahi munkar akan digaungkan, hal tersebut akan menjadi sebuah kontrol sosial dalam masyarakat. Aktifitas saling menguatkan dalam ketaatan ini bisa menutup celah segala bentuk kemaksiatan. Selain itu, sistem islam juga memiliki sistem hukum yang tegas dan mampu memberikan efek jera bagi pelaku maupun bagi masyarakat.

Hukuman yang akan diberikan kepada pelaku pelecehan seksual dalam satuan Pendidikan adalah sama dengan zina. Jika pelaku merupakan seorang muhshan (sudah menikah), maka hukumannya adalah di rajam hingga mati. Namun, apabila pelakunya adalah ghairu muhshan (belum menikah) maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak 100 kali dan diasingkan selama satu tahun. Hukuman yang diberikan oleh sistem islam ini akan memberikan dua efek, pertama adalah efek zawajir yakni hukuman tersebut mampu memberikan efek jera bagi pelaku dan masyarakat akan takut untuk mengulangi hal yang sama.

Kedua adalah efek jawabir yakni hukuman tersebut bisa menjadi penghapus dosa bagi pelaku sehingga pelaku tidak akan mendapat hukuman di akhirat kelak. Demikianlah sistem hukum islam yang mampu menyelesaikan problematika kasus pelecehan seksual yang ada di dalam satuan Pendidikan. Permasalahan tersebut harus diselesaikan mulai dari akarnya dengan solusi-solusi konkrit, dan solusi konkrit tersebut tidak akan bisa diterapkan jika negara tercinta kita ini masih menggunakan sistem sekuler-kapitalis. Wallahu alam bissawab.