Breaking News

Rumah Tangga dalam Jerat Sistem Kapitalisme

Spread the love

Oleh. Sunarti

Muslimahtimes.com– Tak ada asap jika tidak ada api, tidak ada akibat yang muncul tanpa sebab. Seperti berita yang terviral dalam waktu-waktu terakhir ini, pasti ada sebab musababnya.

Tersebut beberapa waktu yang lalu berita yang menghebohkan di dunia sosial media cukup membuat khalayak terkaget-kaget, yaitu mengenai pasangan selebriti yang cukup kondang di negeri ini. Pasalnya pernikahan mereka cukup menyedot perhatian dari banyak orang di dunia nyata maupun di dunia maya.

Siapa yang tak kenal pasangan Lesti Kejora dan Rizky Billar. Tersebut dalam banyak laman pemberitaan bahwa artis terkenal Lesti Kejora telah melaporkan suaminya dengan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Sontak laporan publik figur ini membuat heboh pemberitaan. Mulai dari yang nyiyir hingga yang prihatin.

Mengutip dari salah satu laman pemberitaan news.detik.com, dalam laman tersebut memberitakan jika Lesti melaporkan suaminya, yaitu Rizky Billar ke pihak berwajib dengan aduan bahwa suaminya telah melakukan kekerasan fisik kepada istrinya itu, Lesti Kejora yang dibanting ke kasur.

“Awalnya, korban Lesti ini mengetahui suaminya, Rizky Billar, itu selingkuh di belakang. Kemudian korban Lesti Kejora minta ke suaminya dipulangkan saja ke rumah orang tuanya. Di situ terlapor ini emosi,” jelas Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Endra Zulpan saat dihubungi detik.com, Kamis (29/9/2022).

Selama ini publik mengerti bagaimana latar belakang kisah percintaan mereka hingga menuju pelaminan. Dan saat ini pun mereka telah dikaruniai buah hati dari Sang Pencipta pada 26 Desember 2021 yang lalu dengan nama Muhammad Muhammad Leslar al-Fatih Billar. Siapa pun yang berada dalam bahtera di fase ini, akan merasakan fase yang sangat bahagia. Namun sayang, rupanya rumah tangga pasangan ini justru ditimpa hal yang tidak mengenakkan bagi mereka maupun bagi masyarakat yang masih berpikir tentang keutuhan rumah tangga.

Dalam banyak kasus, masyarakat cenderung menyalahkan satu pihak dan membela pihak yang lain. Padahal jika didetaili lebih lanjut, semata bukan kesalahan dari salah satu atau keduanya saja. Namun, munculnya percekcokan suami-istri bisa terjadi karena banyak faktor pemicunya.

Saat ini alam kapitalisme yang sarat dengan nilai-nilai materi sangat memengaruhi kehidupan penghuninya. Baik mereka kalangan rakyat jelata, para pejabat/penguasa maupun artis papan atas sekalipun. Semua tak luput dari ganasnya sistem yang merusak pemikiran ini. Akibatnya pun bisa fatal. Merembet pada keutuhan rumah tangga keluarga-keluarga yang berada dalam naungan sistem ini.

Gaya hidup dan materi membelenggu masyarakat luas. Pasangan calon pengantin bukan lagi orang-orang yang memiliki fondasi kuat dalam menjalin pernikahan mereka. Bisa hanya berawal dari latar belakang strata sosial yang sama, kondisi yang sama, hingga merasa saling cocok dan saling mencintai. Tidak sadar bahwa dalam benaknya yang muncul adalah nafsu sesaat untuk saling berdekatan dan merasa saling memiliki.

Pada akhirnya inilah mengapa dalam perjalanan rumah tangganya, mereka mengalami guncangan. Mulai dari merasa ada ketidakcocokan, merasa tidak nyaman hingga beradu pada orang lain dibluar rumah tangga mereka. Bisa saja nantinya ketidakcocokan dan ketidaknyamanan suami-istri tersebut akan dilampiaskan pada orang-orang di sekitar mereka. Karena merasa lebih nyaman, lebih cocok dan saling membutuhkan. Tak ayal lagi jika muncul percikan api perselingkuhan yang telah dibumbui syetan agar terasa nikmat dengan orang lain dibandingkan dengan suami atau istri sendiri. Dan secara otomatis akan membakar rumah tangga yang awalnya baik-baik saja.

Keterikatan pada hukum-hukum Allah yang telah dilupakan oleh pasangan suami-istri juga turut andil dalam kehancuran berumah tangga. Karena dari awal, pernikahan bukan didasarkan pada kecintaan hamba keadaan Rabbnya. Akan tetapi berdasarkan akal manusia yang dangkal yang bernama cinta. Manusia tidak sadar jika cinta sesama manusia suatu saat akan luntur ditelan waktu dan keadaan. Berbeda jauh jika pernikahan didasarkan pada kecintaan manusia terhadap Allah Swt yang cinta ini tidak akan luntur tersebab apa pun.

Maraknya pertengkaran suami-istri yang berujung perceraian, menggambarkan buruknya sistem yang diterapkan dalam sebuah negara. Sistem yang diterapkan di negeri ini adalah sistem yang memisahkan aturan Sang Pencipta dengan kehidupan sehari-hari. Sistem sekularisme yang beranak-pinak dengan sistem yang bertolok ukur materi atau sistem kapitalisme telah menjauhkan makna pernikahan yang hakiki.

Mulai dari kebahagiaan yang sejati, yaitu kebahagiaan karena manusia mendapat ridha dari Tuhannya, telah bergeser dengan kebahagiaan yang diukur dengan materi. Demikian pula makna hakiki cinta manusia diukur dengan hawa nafsu semata. Bukan cinta karena taat kepada Rabbnya.

Seharusnya mengingat kembali bahwa menikah tak sekadar tercatat sebagai pasangan suami-istri dalam buku nikah sebagai sebuah noktah yang berharga. Menikah memiliki tujuan berdua yang hakiki yang harus dipahami dan diwujudkan oleh suami maupun istri. Di antaranya, meneruskan keturunan, menjaga kehormatan dan menggapai surga bersama, benar-benar harus jadi prinsip berdua.

Ini harus dipahami oleh semua pasangan. Baik pasangan pengantin baru atau yang sudah lama menikah. Tidak ada salahnya membuka kembali lembaran-lembaran yang tercatat dalam buku nikah. Dan jangan segan untuk membaca nasehat beserta komitmen berdua yang tertulis di sana. Baik komitmen suami maupun kewajiban-kewajiban istri. Dan sebaliknya.

Salah satu vontohnya, di buku nikah ada yang disebut sighat taklik. Yaitu sebuah kebijakan khusus yang dibentuk oleh Pemerintah Republik Indonesia yang diatur dalam Maklumat Kementrian Agama Nomor 3 Tahun 1953. Perumusan bunyi sighat taklik ini secara lengkap diatur berdasarkan Peraturan Menteri Agama Nomor 2 tahun 1990. Adapun bunyi dari sighat taklik tersebut sebagai berikut:

“Apabila saya:
Meninggalkan isteri saya 2 (dua)tahun berturut-turut; tidak memberi nafkah wajib kepadanya 3 (tiga) bulan lamanya; Menyakiti badan/jasmani isteri saya, atau Membiarkan (tidak memperdulikan) isteri saya 6 (enam) bulan atau lebih;dan karena perbuatan saya tersebut isteri saya tidak ridho dan mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, maka apabila gugatannya diterima oleh Pengadilan tersebut, kemudian isteri saya membayar Rp10.000,- (sepuluh ribu rupiah) sebagai iwadh (pengganti) kepada saya, jatuhlah talak saya kepadanya. Kepada Pengadilan tersebut saya memberi kuasa untuk menerima uang iwadh tersebut dan menyerahkan kepada Badan Amil Zakat Nasional setempat untuk keperluan ibadah sosial.”

Kutipan di atas telah dibaca oleh pengantin laki-laki yang bisa saja saat ini telah menjadi suami buat pasangannya. Itu seharusnya dibaca kemudian benar-benar diresapi makna dan konsekuensinya

Sebaliknya, sebagai istri, tidak ada salahnya juga untuk evaluasi. Apakah sudah melayakkan diri menjadi istri yang berbakti kepada suami?
Atau selama ini hanya menuntut hak sekadar untuk beli lipstik dan bedak?
Sehingga lupa kewajiban dan tugas kita sebagai pengatur urusan rumah tangga dalam kepemimpinan suami. Nauzubillah.

Pasangan suami-istri berumah tangga, tidaklah bisa disamakan dengan rumah yang bertetangga. Jika rumah bertetangga saja, maka yakinlah jika kehidupan sehari-hari hanya akan membandingkan kehidupan rumah tangga sendiri dengan rumah tangga orang lain. Terlebih godaan di luar rumah juga sangat menggiurkan.

Terlebih saat ini hidup di alam kapitalisme yang sarat dengan berbagai problematika, tentunya patokan dalam berumah tangga harus jelas. Yakni berjalan di atas tuntunan-Nya. Bukan berjalan di atas tuturan tetangga. Karena Allah Yang Maha Kuasa, bukan tetangga yang maha berbicara dan layak ditirukan setiap tingkahnya. Karena belum tentu benar dan sesuai syariatNya. Tak bisa dipungkiri, kalau kehidupan kita seringnya dipengaruhi oleh gaya hidup tetangga. Maka musti saling menguatkan pasangan untuk selalu taat kepada Allah Swt adalah hal yang penting.

Jika circle berumah tangga hanya karena tetangga, niscaya di luar tampak cantik, tapi di dalam kondisi sangat mengusik. Alias di dalam rumah tangga tersebut hanya menampakkan kebaikan perilaku berpasangan di depan tetangga/publik. Tetangga yang di sekitar rumah atau tetangga yang tinggal di medsos/dunia maya.

Jika dibahasakan, “amung lamis” alias hanya pemulas/pemanis bibir. Kesungguhan dalam menempuh bahtera rumah tangga hanya sebatas memuaskan publik. Tidak sampai kepada kebahagiaan yang hakiki dari kedua belah pihak. Pasalnya dari awal tujuan menikah telah tidak ada di benak keduanya. Sayang memang.

Solo, 30 September 2022