Breaking News

Sanksi Jera Penista Agama

Spread the love

 

Oleh: Hany Handayani Primantara, S.P (Aktivis Muslimah)

Muslimahtimes.com– Agama sejatinya adalah panutan dan panduan hidup setiap manusia. Sebagai panduan hidup yang diyakini oleh seseorang, ia bersifat sakral. Maka suatu hal yang wajar jika sikap kita terhadapnya pun akan mensucikan dan meninggikannya. Berbanding terbalik jika sikap kita justru merendahkan, maka ada sesuatu yang salah dalam pandangan manusia tersebut. Sebab bagaimana mungkin manusia yang notabene merasa rendah dan butuh akan sesuatu, justru mudah mengolok-olok agama, baik itu agama sendiri maupun orang lain.

Jika seseorang menista maupun mengolok-olok agama orang lain, maka muncul sifat kurang saling menghargai perbedaan. Sedangkan jika ia justru menistakan dan mengolok-olok agama yang ia anut sendiri, namanya sudah keterlaluan dan tak bisa dimaafkan. Seseorang yang meninggikan agamanya serta yakin akan kebenaran agamanya tak mungkin akan melakukan hal demikian. Seperti kasus yang viral terjadi belakangan ini, seorang pejabat Kemenhub terlibat kasus penistaan agama.

Suburnya para Penista Agama

Penistaan tersebut dilakukan oleh kepala Kantor Otoritas Bandar Udara Wilayah X Merauke, Asep Kosasih, yang bersumpah sambil menginjak Al-Qur’an. Mirisnya Asep dilaporkan oleh istrinya sendiri, Vanny Rossyane. Sebabnya karena ia ingin meyakinkan istrinya bahwa ia tidak selingkuh. Dikutip dari media online tempo.co (17/05/24).

Pihak kepolisian sedang selidiki kasus tersebut atas laporan pihak istrinya. Akibatnya yang bersangkutan pun dibebastugaskan dari jabatannya untuk memudahkan pemeriksaan lebih lanjut. Hal itu sesuai dengan UU nomor 1 tahun 1946 tentang KUHP sebagaimana dimaksud dalam pasal 156 a KUHP.

Tumbuh suburnya penistaan agama di Indonesia tak mungkin bisa terjadi jika ada sanksi tegas dari pemerintah sebagai pihak yang paling berwenang terhadap hal ini. Sanksi yang diberikan mesti rata kepada setiap penista tanpa pandang bulu dengan hukuman yang mampu membuatnya jera. Kejadian berulang dengan format dan latar belakang yang sama ini seakan dibiarkan atas landasan kebebasan beragama.

Dalang Maraknya Penistaan Agama

Panutan kebebasan beragama yang lahir dari sistem sekularisme membuat semakin banyak orang yang tak paham akan keagungan dan kesakralan agama. Agama hanya masalah privasi, anggapan semua agama benar menjadikan agama merupakan momok yang biasa dan remeh. Hal yang demikian amatlah wajar terjadi di dunia yang menganut kebebasan beragama. Dari sistem sekularisme yang memisahkan antara kehidupan agama dan politik menunjukkan bahwa agama memiliki tandingannya yakni akal pikiran manusia itu sendiri.

Sebab jika ia memang butuh agama dan yakin terhadap agamanya, ia tak mungkin akan menggunakan aturan lain selain agama dalam menjalani kehidupannya sesuai hawa nafsunya seperti yang terjadi saat ini di negara kita. Sadar maupun tidak sebagian besar aqidahnya sudah berkiblat pada sekularisme. Menomorduakan agama serta menjunjung tinggi hak manusia dalam membuat aturan sesuai keinginan dan manfaat semata.

Kebebasan beragama ini meniscayakan hukum sanksi yang rendah jera bahkan tak membawa sifat jera sedikit pun. Akibatnya sudah bisa ditebak, siapapun akan dengan berani dan mudah menista. Sebagaimana banyak kasus terjadi dibiarkan menguap dengan sendirinya tanpa ada penyelesaian yang mampu melindungi agama itu sendiri.

‘Agama itu sudah suci maka tak perlu dibela’ pun merupakan sebuah pernyataan yang menyesatkan. Pemikiran tersebut tidak akan lahir dari jalur aqidah yang lurus. Sebab pembuktian sebuah keyakinan justru dari pembelaannya terhadap agamanya, sudah seberapa besar usahanya dalam melindungi kesakralan agamanya. Bukan malah membiarkan seperti yang sekarang terjadi.

Sanksi Jera Hanya Didapat dari Khilafah

Berbeda jika kita memiliki perisai agama yakni Khilafah. Khilafah merupakan perisai sejati yang mampu melindungi kesakralan agamanya maupun agama lain. Atas dasar landasan ‘yakini agama masing-masing’ inilah maka perlu penjagaan terhadapnya. Dengan kekuatan besarnya, khilafah akan mampu melindungi agama Allah dan izzul Islam wal muslimin. Kemuliaan agama akan dijunjung tinggi. Khilafah pun mampu mengedukasi umat agar tepat bersikap terhadap agamanya maupun agama yang dianut oleh orang lain.

Sistem khilafah memiliki sanksi hukum yang tegas terhadap penista. Sebab fungsi dari hukum sanksi dalam Islam ada dua yakni jawabir dan zawajir. Jawabir ditujukan sebagai upaya untuk mencapai kemaslahatan, sedangkan zawajir sebagai pencegahan yakni upaya mengantisipasi agar suatu tindak pidana tidak terjadi. Adapun jawabir difokuskan kepada pelaku tindak pidana, sedangkan zawajir difokuskan kepada perbuatan tindak pidana.

Penistaan agama dalam Islam merupakan tindak pidana kejahatan. Hal ini akan mengancam toleransi beragama di masyarakat. Jumhur ulama sepakat bahwa hukuman atas penista Nabi adalah hukuman mati (Ibn al-Mundzir). Imam Malik bin Anas dan para ulama Madinah berpendapat, jika penghinanya seorang ahli dzimmah pun maka dihukum mati, hal ini juga sejalan dengan pendapat imam Ahmad bin Hambal. Penghinaan agama dalam hukum Islam disebut dengan istilah sabb al-diin.

Perbuatan yang terkategori penistaan agama yakni divonis hukuman mati menurut sebagian ulama adalah menghina Alquran, hadis dan mengaku sebagai seorang Nabi. Adapun penistaan agama dalam kategori lain dimasukkan dalam kategori jarimah ta’zir. Diberikan kesempatan dan keleluasaan kepada para hakim untuk memutuskan perkara dengan berijtihad berdasarkan berbagai macam pertimbangan dalam hal ini.

Maka bukan suatu yang mustahil toleransi tumbuh secara alamiah. Bukan hal yang aneh akan muncul pembelaan kuat dari berbagai pihak termasuk di dalamnya adalah peran negara. Jika sudah demikian, maka para penganut agama pun akan dengan lebih tenang fokus dalam menjalankan agamanya masing-masing.

Wallahu alam bishowab.