Breaking News

Nasib Nestapa Ibu dalam Kemiskinan

Spread the love

Oleh: Syarifah Mughniyah Tahir 

(Mahasiswi Universitas Padjadjaran)

Muslimahtimes.com–Seorang ibu di kawasan Tambora, Jakarta Barat tampaknya kehilangan naluri keibuannya akibat impitan ekonomi. Ia menjadi salah satu tersangka dari kasus Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) setelah menjual bayinya sendiri seharga Rp4 juta kepada tersangka lainnya, yakni EM sebagai mediator jual-beli bayi dan sang suami, AN sebagai tersangka penadah bayi. EM  ternyata telah melancarkan aksinya sebanyak lima kali sejak 2020. Melalui perdagangan gelap ini, polisi juga mengamankan 4 bayi lainnya yang telah dibeli oleh EM dari tiga ibu warga Karawang dan satu ibu asal Surabaya.

Ibu kandung dari bayi (T) tega menjual bayinya sendiri karena kesulitan untuk membayar biaya persalinan. Diketahui pula bahwa T yang kala itu sedang hamil harus bekerja di Jakarta sementara suaminya yang berada di Wonosobo tidak bertanggung jawab. Adapun EM menyasar para perempuan yang rentan secara ekonomi, seperti T sebagai korban lewat grup-grup media sosial.

Betapa nestapanya nasib seorang ibu yang terjerat kemiskinan. Ibu merupakan posisi yang mulia di dalam Islam, tetapi kondisi ekonomi yang sempit tak jarang menodai kemuliaan tersebut  dengan menghilangkan naluri keibuan sehingga ibu terpaksa merelakan buah hatinya. Kondisi memilukan ini merupakan hasil dari penerapan paham sekularisme dan sistem ekonomi kapitalisme dalam bernegara.

Negara yang demikian tidak mampu menjamin peran ayah untuk mencari nafkah dan pada akhirnya para ibu yang sudah disibukkan dengan urusan domestik terpaksa bekerja keluar rumah demi memenuhi kebutuhan keluarga. Sekularisme-kapitalisme juga telah mendorong kaum wanita setara dengan kaum pria, yaitu wanita sebagai penggerak roda ekonomi negara. Paham tersebut memandang wanita berdaya apabila dapat menghasilkan materi. Dampaknya adalah wanita didorong untuk terus dan pada akhirnya menanggung beban ganda dengan mengurus domestik sekaligus non-domestik (bekerja).

Berbeda dengan Islam, antara wanita dan pria telah diatur secara jelas masing-masing hak dan kewajibannya. Tugas utama wanita adalah sebagai pendidik generasi karena dalam Islam, ibu adalah sekolah pertama bagi anak (Al-Ummu Madrasatul Ula). Oleh karena itu, kewajiban menafkahi keluarga diberikan kepada pria. Islam tidak menjadikan wanita wajib bekerja, tetapi hukumnya mubah (boleh) asalkan tidak meninggalkan tugas utamanya. Istri berhak mendapatkan perlakuan baik dan penghidupan yang cukup dari suaminya. Istri pun wajib mentaati suaminya. Beginilah kesempurnaan Islam yang akan menjaga dan menciptakan keluarga sakinah, mawaddah, dan warahmah.

Bedasarkan hal tersebut, ketika Islam diterapkan dalam level negara, maka negara wajib menjamin dan menyediakan lapangan kerja bagi kaum pria karena kewajiban mereka sebagai pencari nafkah. Negara islam juga memiliki mekanisme pos zakat yang akan diberikan kepada masyarakat yang tidak mampu sampai mereka tidak lagi dikategorikan delapan orang yang menerima zakat. Bagi wanita yang tidak lagi memiliki anggota keluarga laki-laki ataupun kerabat laki-lakinya tidak mampu, maka wanita tersebut akan dinafkahi oleh negara melalui Baitulmal, sistem pengelola keuangan negara. Hal tersebut pun pernah diterapkan pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib. Baitulmal mendapatkan pemasukannya dari banyak sektor (jizyah, fai, kharaj, ganimah, hasil pengelolaan SDA, dll) sehingga dapat menjamin pembiayaan sektor pendidikan, kesehatan, serta layanan infrastruktur bagi rakyat. Dengan demikian, negara Islam dapat menyejahterahkan setiap keluarga dengan sistemnya yang adil dan sesuai fitrah manusia. Seluruh manusia diperlakukan sama oleh negara Islam, baik muslim dan nonmuslim karena negara Islam memandang rakyatnya sebagai manusia semata terlepas dari latar belakangnya.